Kamis, 25 Februari 2010

Selasa, 16 Februari 2010




KISAH CINTA UNTUK AYAH

Catatan Nadiya

Ayah, satu namun bertebar makna. Melankolis.

Ayah, merasa irikah engkau pada Ibu ketika Rasulullah menyuruh seorang anak menghormati dan mencintai Ibunya terlebih dahulu sampai tiga kali sebelummu?

Ayah, rindukah engkau pada ocehan masa kecilku yang begitu lucu sehingga engkau selalu mengingatnya dan tak akan pernah melupakannya? Aku pun demikian.

Ayah, yakinkah engkau ingatanku begitu tajam? Aku mampu mengingat bagaimana kau tak pernah lelah membimbingku menapak dan berjalan. Aku mampu mengingat dengan baik bagaimana kau mengajariku menyebut asmaNya, begitu sabar kau tuntun aku. Aku mampu mengingat bagaimana kau meninabobokan aku ketika Ibu kelelahan. Bahkan aku mampu mengingat ketika aku bangun tengah malam dan menangis begitu tersedunya hingga menggugahmu yang sedang beristirahat. Satu yang tak akan pernah aku lupa seumur hidupku bahwa aku pernah menyemburmu dengan kotoran bayi cilikmu ketika perjalanan yang begitu melelahkan. Untuk itu, maafkan aku Ayah!

Ayah, sungguh bijakmu meluluhlantakkan egoku. Amarahmu membuatku menyadari betapa besar rasa cintamu padaku dan betapa tidak inginnya kau kehilangan anak yang teramat kau cinta ini. Sungguh aku yakin akan hal itu. Itulah hal yang menguatkan aku untuk selalu berjuang meraih cita.

Ayah, masihkah kau ingat sejak kecil aku sangat takut jika kau marah?Ingatkah ketika kita ke studio foto untuk foto keluarga? Saat itu usiaku sekitar tiga tahun. Kau menggendongku, tak lama kemudian aku menangis padahal fotografer sudah siap memotret gambar indah itu. Cepat-cepat ibu meraihku dalam dekapnya, belum selesai isakanku, fotografer menjepret kamera yang mengabadikan potret kita. Lucu sekali Ayah! Aku terlihat tersenyum malu dalam foto, padahal saat itu aku terisak karena tak mau kau gendong. Dalam bingkai kenangan kita itu, kau tentu iri karena aku lebih memilih Ibu untuk menggendongku. Aku melihat raut wajahmu dengan seksama dalam potret kenangan kita.

Ayah, aku sering tersenyum sembari membayangkan ketika kau menggantikan pekerjaan Ibu sementara, saat Ibu menjalani rawat inap di rumah sakit. Begitu lucunya ketika kau salah mengenakan seragamku saat aku duduk di bangku TK, saat itu aku menangis ketika sampai di sekolah, aku malu Ayah!

Ayah, kau gantikan posisi Ibu saat itu. Kau membuatku merasa nyaman ketika kau membelikan apapun yang aku minta demi aku tidak merengek mencari Ibu, termasuk memberikan kaset tape kesukaanku. Begitu senang aku melantunkan irama Nike Ardila, “ Mengapa kau nyalakan api cinta di hatiku, membakar jiwa yang merana, .......... ”. Oh, Tuhan maafkan aku jika sedari kecil aku menggemari lagu cinta.

Ayah, masih terekam dengan jelas dalam pikiranku ketika kau memarahiku, dari sekian kemarahanmu, itulah yang mampu membuat aku lebih belajar menghargai hidupku, menghargai waktuku, terus menghargai dan mengerti bahwa tak pernah ada yang sempurna dalam hidup ini begitu pula dalam cinta. Cinta semu yang selalu aku engkau arahkan agar tidak tersesat di dalamnya.

Ayah, aku pernah begitu merasa terpuruk ketika kau berniat membuangku ke pesantren. Sungguh Ayah, aku begitu merasa tersiksa berpisah darimu juga Ibu. Benar-benar tak terbayangkan, setega itukah kau buang aku di sebuah pesantren yang begitu jauh jarak darimu enam tahun lamanya?

Ayah, aku tahu hanya itu jalan terbaik untukku, dimana aku belajar tentang hal-hal dari segi apapun. Menjadi gadis muslimah yang tumbuh semerbak harumnya kembang melati. Mandiri dan terarah. Engkaulah pemimpin yang bijaksana.

Ayah, enam tahun kulewati penuh keindahan karena semangat yang tak pernah henti kau berikan untukku. Semoga segalanya bermanfaat dengan sebaik mungkin untuk kesejahteraan kita semua, saat ini, esok, dan selama kehidupan ini berjalan.

Ayah, kembali ke pelukan Ayah dan Ibu adalah hal yang kutunggu. Dekap hangat dan mesra itulah yang paling berarti dari segalanya bahkan nyawaku sekalipun. Dan aku berjanji tak akan binasakan asa yang kau tanam padaku sejak aku menangis keheranan karena mulai menatap dunia.

Ayah, ingat aku akan tangismu dihadapanku ketika kau berkisah tentang masa kecilmu yang begitu inginnya menuntut ilmu namun tiada kuasa mampu kau tuntut karena kesulitan ekonomi yang memaksamu untuk bekerja daripada menuntut ilmu. Untuk itu, kau berkeinginan menyekolahkanku hingga perguruan tinggi semau dan setinggi yang aku mampu.

Ayah, ketika kau antar aku tes di bangku kuliah di sebuah Universitas ternama di Surabaya, begitu riangnya parasmu yang mengharukan hingga aku tak kuasa menitikkan airmata. Kau begitu berharap aku melanjutkan study untuk melanjutkan perjuanganmu mengarungi samudera kehidupan ini meskipun dengan cara yang lain.

Ayah, sungguh aku bersyukur jika aku mampu membuatmu bangga dalam hal apapun, dan itulah kebahagiaan yang tiada tara bagiku.

Ayah, kau begitu berjuang memeras keringat untuk Ibu dan aku, untuk kebahagiaan kami, untuk melihatku tumbuh menjadi kembang perawanmu. Tentu kau merasa sulit melewati masa-masa itu, untuk itu aku begitu mencintaimu.

Ayah, sungguh aku mengerti ketika kau meneteskan air mata melihatku terkapar tak berdaya, sambil kau usap keningku, sebenarnya aku sekedar berpura-pura memejamkan mataku, dan ketika kemudian aku membuka mataku, kau katakan bahwa kau terisak karena terkena influenza, padahal kau menangis karena takut kehilangan aku, putri semata wayangmu ini.

Ayah kau ajariku melalui bahasa kalbumu untukku tidak meremehkan tutur kata Ibu. Kau berikan aku kecerahan yang selayaknya mampu memanduku meniti perjalanan panjang menjadi hambaNya yang sholilah. Sungguh aku mencintaimu Ayah.

Ayah, sungguh bijakmu meluluhlantakkan egoku. Ketika indah dinikmati bersama. Melody hanya kita yang punya. Aku begitu mencintaimu.

Ayah ibamu pada dunia yang menuntutku untuk lebih mencintai apa-apa, karena dengan mencintai itu aku dicintai, karena dengan memberi aku menerima.

Ayah dengan kuasamulah kau jaga buah yang sedang ranum ini. Merapatkan shaf dalam menaati aturanNya hingga aku selamat dan membuahkan kebahagiaan dunia-akhiratmu. Sungguh senyummu menyimpan arti yang tak sanggup aku lontarkan. Karena itu aku begitu mencintaimu.

Ayah, aku ingin bercengkrama dengan asyiknya bersamamu. Saat yang tepat ketika tak ada satupun momen yang aku lewatkan untuk merangkai kata – kata nan indah. Sambil menyapu gundah yang selama ini bersemayam menggerogoti alam pikiranku.

Ayah, hanyalah maaf yang ingin aku ucap sebelum semua terlewati. Beginilah aku yang sering membuatmu lelah dan risau, namun sungguh tak pernah sekalipun terlintas dalam niatku untuk menyakitimu.

Ayah, aku ingin memberi apa-apa yang belum kau punya. Aku ingin memberi kemerdekaan untukmu. Kemerdekaan untuk menikahkan aku dengan selamat. Itulah harapanku. Dengan itu, usai sudah tugasmu sebagai seorang Ayah. Selanjutnya, akulah yang akan melanjutkan tugasku sebagai seorang anak. Birrulwalidain, amin.

Ayah, dan ketika ini semua akan lenyap dalam genggaman waktu, percayalah dalam kelenyapan itulah maka kita dilahirkan kembali ke kehidupan abadi.

Ayah, ini bukan penyerahan sempurna akhir hidupmu, melainkan inilah awal pengabdianmu pada kehidupan. Janganlah berputus asa dalam memerangi hidup fana ini, Ayah!

Ayah, tawamulah yang menjadi inspirasiku dalam hal apapun, bahkan dalam menorehkan hitam di atas putih dalam sepenggal kisah cinta untukmu ini.

Ayah, apakah kau ingin juga menuliskan dengan warna-warni kenangan kita? Tapi Ayah, kau tak perlu lakukan itu! Kau tak perlu nyatakan seberapa besar rasa cintamu untukku! Cintamu untukku bagai dawai gitar yang menggetarkan seluruh jagad, karena ia berbicara dengan sejuta makna meski tanpa kata-kata.
I LOVE YOU DAD!

Surabaya, 13 September 2008

SURAT UNTUK ANAK KU

Anakku sayang...
Kuingat ketika kau memperkenalkan
teman wanitamu pada Ibu
Ada binar aneh dalam matamu...
Binar itu tak pernah kutemui selama puluhan tahun
Ibu mengasuh dan membesarkanmu

Meski kau gembira ketika dulu kau dapat berjalan,
tak ada binar itu...
Meski kau lega ketika sakit khitanmu telah sembuh,
tak ada binar itu...
Meski kau bangga ketika kau terdaftar di universitas
yang kau idamkan, tak ada binar itu...
Meski kau bahagia menyandang gelar yang kau cita-citakan,
tak Ibu jumpai binar itu...

Ibu bertanya-tanya binar apa itu...?
Yang begitu memancar ketika kau menceritakan
siapa dan bagaimana teman wanitamu itu...

Aah... Ibu tahu itulah binar cinta
sama seperti binar mata ayahmu ketika meminta Ibu
untuk menjadi teman hidupnya

Anakku sayang...
Binar itu makin berkilat-kilat
ketika kau meminta Ibu untuk datang ke rumah teman wanitamu itu
Kau telah bertekad untuk menyempurnakan
kehidupanmu bersamanya...

Aah... angan Ibu melayang-layang
Ingat ketika ayahmu melamar Ibu, dan binar mata
yang berkilat-kilat ada juga di mata ayahmu ketika itu

Anakku sayang...
Kini kau telah bersanding dengan teman wanitamu
Di matamu ada wajahnya dan di matanya ada wajahmu

Katakan padanya, Ibu juga mencintainya
Sama dan seimbang seperti Ibu mencintaimu
Kalaulah dia adalah belahan jiwamu,
Maka dia juga belahan jiwa Ibu

Karena anakku...
Sampai kapan pun, engkau tetap belahan jiwa Ibu...

SURAT UNTUK AYAH

Ayah,
Jika kudapat terbang
Melampaui Bima Sakti... Akan kukabarkan
kebesaran Allah padamu

Ayah,
Jika dalam melewatinya kudapat memetik bintang...
Akan kupetik dan kupersembahkan untukmu
Agar kerlipnya memberi keindahan pada sisa hidupmu

Ayah,
Jika seluruh planet dapat kuuntai,
Maka untaiannya akan kuserahkan padamu
untuk mengalungkan untaian itu kepada Ibu...
Agar Ibu selalu tegar menghadapi dunia

Ayah,
Jika Matahari dapat kupindahkan...
Aku ingin memindahkannya dalam semangatmu,
Agar Ayah selalu bersemangat menjadi imam keluarga kita

Ayah,
Jika rembulan dapat kudekap pada 2/3 malam,
Maka akan kubisikkan doa "Semoga cahaya salat Subuhmu di mesjid yang menerangi ketika langit di gulung dan bintang-bintang berjatuhan"



LAMARANMU

KUTOLAK!!!

Catatan Thoriq Ahmad

(Kisah Sederhana, Jenaka tapi Penuh Makna)

Mereka, lelaki dan perempuan yang begitu berkomitmen dengan agamanya.
Melalui ta'aruf yang singkat dan hikmat, mereka memutuskan untuk
melanjutkannya menuju khitbah.

Sang lelaki, sendiri, harus maju menghadapi lelaki lain: ayah sang perempuan.
Dan ini, tantangan yang sesungguhnya. Ia telah melewati deru
pertempuran semasa aktivitasnya di kampus, tetapi pertempuran yang
sekarang amatlah berbeda.

Sang perempuan, tentu saja siap membantunya. Memuluskan langkah mereka
menggenapkan agamanya.

Maka, di suatu pagi, di sebuah rumah, di sebuah ruang tamu, seorang
lelaki muda menghadapi seorang lelaki setengah baya, untuk 'merebut'
sang perempuan muda, dari sisinya.

"Oh, jadi engkau yang akan melamar itu?" tanya sang setengah baya.
"Iya, Pak," jawab sang muda.
"Engkau telah mengenalnya dalam-dalam? " tanya sang setengah baya
sambil menunjuk si perempuan.
"Ya Pak, sangat mengenalnya, " jawab sang muda, mencoba meyakinkan.
"Lamaranmu kutolak. Berarti engkau telah memacarinya sebelumnya? Tidak
bisa. Aku tidak bisa mengijinkan pernikahan yang diawali dengan model
seperti itu!" balas sang setengah baya.
Si pemuda tergagap, "Enggak kok pak, sebenarnya saya hanya kenal
sekedarnya saja, ketemu saja baru sebulan lalu."
"Lamaranmu kutolak. Itu serasa 'membeli kucing dalam karung' kan, aku
takmau kau akan gampang menceraikannya karena kau tak mengenalnya.
Jangan-jangan kau nggak tahu aku ini siapa?" balas sang setengah baya,
keras.

Ini situasi yang sulit. Sang perempuan muda mencoba membantu sang
lelaki muda. Bisiknya, "Ayah, dia dulu aktivis lho."

"Kamu dulu aktivis ya?" tanya sang setengah baya.
"Ya Pak, saya dulu sering memimpin aksi demonstrasi anti Orba di
Kampus," jawab sang muda, percaya diri.
"Lamaranmu kutolak. Nanti kalau kamu lagi kecewa dan marah sama
istrimu, kamu bakal mengerahkan rombongan teman-temanmu untuk mendemo
rumahku ini kan?"
"Anu Pak, nggak kok. Wong dulu demonya juga cuma kecil-kecilan. Banyak
yang nggak datang kalau saya suruh berangkat."
"Lamaranmu kutolak. Lha wong kamu ngatur temanmu saja nggak bisa, kok
mau ngatur keluargamu?"

Sang perempuan membisik lagi, membantu, "Ayah, dia pinter lho."
"Kamu lulusan mana?"
"Saya lulusan Teknik Elektro UGM Pak. UGM itu salah satu kampus
terbaik di Indonesia lho Pak."
"Lamaranmu kutolak. Kamu sedang menghina saya yang cuma lulusan STM
ini tho? Menganggap saya bodoh kan?"
"Enggak kok Pak. Wong saya juga nggak pinter-pinter amat Pak. Lulusnya
saja tujuh tahun, IPnya juga cuma dua koma Pak."
"Lha lamaranmu ya kutolak. Kamu saja bego gitu gimana bisa mendidik
anak-anakmu kelak?"


Bisikan itu datang lagi, "Ayah dia sudah bekerja lho."
"Jadi kamu sudah bekerja?"
"Iya Pak. Saya bekerja sebagai marketing. Keliling Jawa dan Sumatera
jualan produk saya Pak."
"Lamaranmu kutolak. Kalau kamu keliling dan jalan-jalan begitu, kamu
nggak bakal sempat memperhatikan keluargamu."
"Anu kok Pak. Kelilingnya jarang-jarang. Wong produknya saja nggak
terlalu laku."
"Lamaranmu tetap kutolak. Lha kamu mau kasih makan apa keluargamu,
kalau kerja saja nggak becus begitu?"

Bisikan kembali, "Ayah, yang penting kan ia bisa membayar maharnya."
"Rencananya maharmu apa?"
"Seperangkat alat shalat Pak."
"Lamaranmu kutolak. Kami sudah punya banyak. Maaf."
"Tapi saya siapkan juga emas satu kilogram dan uang limapuluh juta Pak."
"Lamaranmu kutolak. Kau pikir aku itu matre, dan menukar anakku dengan
uang dan emas begitu? Maaf anak muda, itu bukan caraku."


Bisikan, "Dia jago IT lho Pak"
"Kamu bisa apa itu, internet?"
"Oh iya Pak. Saya rutin pakai internet, hampir setiap hari lho Pak
saya nge-net."
"Lamaranmu kutolak. Nanti kamu cuma nge-net thok. Menghabiskan
anggaran untuk internet dan nggak ngurus anak istrimu di dunia nyata."
"Tapi saya ngenet cuma ngecek imel saja kok Pak."
"Lamaranmu kutolak. Jadi kamu nggak ngerti Facebook, Blog, Twitter,
Youtube? Aku nggak mau punya mantu gaptek gitu."

Bisikan, "Tapi Ayah..."
"Kamu kesini tadi naik apa?"
"Mobil Pak."
"Lamaranmu kutolak. Kamu mau pamer tho kalau kamu kaya. Itu namanya
Riya'. Nanti hidupmu juga bakal boros. Harga BBM kan makin naik."
"Anu saya cuma mbonceng mobilnya teman kok Pak. Saya nggak bisa nyetir"
"Lamaranmu kutolak. Lha nanti kamu minta diboncengin istrimu juga? Ini
namanya payah. Memangnya anakku supir?"

Bisikan, "Ayahh.."
"Kamu merasa ganteng ya?"
"Nggak Pak. Biasa saja kok"
"Lamaranmu kutolak. Mbok kamu ngaca dulu sebelum melamar anakku yang
cantik ini."
"Tapi pak, di kampung, sebenarnya banyak pula yang naksir kok Pak."
"Lamaranmu kutolak. Kamu berpotensi playboy. Nanti kamu bakal selingkuh!"


Sang perempuan kini berkaca-kaca, "Ayah, tak bisakah engkau tanyakan
soal agamanya, selain tentang harta dan fisiknya?"
Sang setengah baya menatap wajah sang anak, dan berganti menatap sang
muda yang sudah menyerah pasrah.
"Nak, apa adakah yang engkau hapal dari Al Qur'an dan Hadits?"
Si pemuda telah putus asa, tak lagi merasa punya sesuatu yang berharga.
Pun pada pokok soal ini ia menyerah, jawabnya, "Pak, dari tiga puluh
juz saya cuma hapal juz ke tiga puluh, itupun yang pendek-pendek saja.
Hadits-pun cuma dari Arba'in yang terpendek pula."
Sang setengah baya tersenyum, "Lamaranmu kuterima anak muda. Itu
cukup. Kau lebih hebat dariku. Agar kau tahu saja, membacanya saja
pun, aku masih tertatih."
Mata sang muda ikut berkaca-kaca.


Ini harus happy ending, bukan?