Selasa, 16 Februari 2010




KISAH CINTA UNTUK AYAH

Catatan Nadiya

Ayah, satu namun bertebar makna. Melankolis.

Ayah, merasa irikah engkau pada Ibu ketika Rasulullah menyuruh seorang anak menghormati dan mencintai Ibunya terlebih dahulu sampai tiga kali sebelummu?

Ayah, rindukah engkau pada ocehan masa kecilku yang begitu lucu sehingga engkau selalu mengingatnya dan tak akan pernah melupakannya? Aku pun demikian.

Ayah, yakinkah engkau ingatanku begitu tajam? Aku mampu mengingat bagaimana kau tak pernah lelah membimbingku menapak dan berjalan. Aku mampu mengingat dengan baik bagaimana kau mengajariku menyebut asmaNya, begitu sabar kau tuntun aku. Aku mampu mengingat bagaimana kau meninabobokan aku ketika Ibu kelelahan. Bahkan aku mampu mengingat ketika aku bangun tengah malam dan menangis begitu tersedunya hingga menggugahmu yang sedang beristirahat. Satu yang tak akan pernah aku lupa seumur hidupku bahwa aku pernah menyemburmu dengan kotoran bayi cilikmu ketika perjalanan yang begitu melelahkan. Untuk itu, maafkan aku Ayah!

Ayah, sungguh bijakmu meluluhlantakkan egoku. Amarahmu membuatku menyadari betapa besar rasa cintamu padaku dan betapa tidak inginnya kau kehilangan anak yang teramat kau cinta ini. Sungguh aku yakin akan hal itu. Itulah hal yang menguatkan aku untuk selalu berjuang meraih cita.

Ayah, masihkah kau ingat sejak kecil aku sangat takut jika kau marah?Ingatkah ketika kita ke studio foto untuk foto keluarga? Saat itu usiaku sekitar tiga tahun. Kau menggendongku, tak lama kemudian aku menangis padahal fotografer sudah siap memotret gambar indah itu. Cepat-cepat ibu meraihku dalam dekapnya, belum selesai isakanku, fotografer menjepret kamera yang mengabadikan potret kita. Lucu sekali Ayah! Aku terlihat tersenyum malu dalam foto, padahal saat itu aku terisak karena tak mau kau gendong. Dalam bingkai kenangan kita itu, kau tentu iri karena aku lebih memilih Ibu untuk menggendongku. Aku melihat raut wajahmu dengan seksama dalam potret kenangan kita.

Ayah, aku sering tersenyum sembari membayangkan ketika kau menggantikan pekerjaan Ibu sementara, saat Ibu menjalani rawat inap di rumah sakit. Begitu lucunya ketika kau salah mengenakan seragamku saat aku duduk di bangku TK, saat itu aku menangis ketika sampai di sekolah, aku malu Ayah!

Ayah, kau gantikan posisi Ibu saat itu. Kau membuatku merasa nyaman ketika kau membelikan apapun yang aku minta demi aku tidak merengek mencari Ibu, termasuk memberikan kaset tape kesukaanku. Begitu senang aku melantunkan irama Nike Ardila, “ Mengapa kau nyalakan api cinta di hatiku, membakar jiwa yang merana, .......... ”. Oh, Tuhan maafkan aku jika sedari kecil aku menggemari lagu cinta.

Ayah, masih terekam dengan jelas dalam pikiranku ketika kau memarahiku, dari sekian kemarahanmu, itulah yang mampu membuat aku lebih belajar menghargai hidupku, menghargai waktuku, terus menghargai dan mengerti bahwa tak pernah ada yang sempurna dalam hidup ini begitu pula dalam cinta. Cinta semu yang selalu aku engkau arahkan agar tidak tersesat di dalamnya.

Ayah, aku pernah begitu merasa terpuruk ketika kau berniat membuangku ke pesantren. Sungguh Ayah, aku begitu merasa tersiksa berpisah darimu juga Ibu. Benar-benar tak terbayangkan, setega itukah kau buang aku di sebuah pesantren yang begitu jauh jarak darimu enam tahun lamanya?

Ayah, aku tahu hanya itu jalan terbaik untukku, dimana aku belajar tentang hal-hal dari segi apapun. Menjadi gadis muslimah yang tumbuh semerbak harumnya kembang melati. Mandiri dan terarah. Engkaulah pemimpin yang bijaksana.

Ayah, enam tahun kulewati penuh keindahan karena semangat yang tak pernah henti kau berikan untukku. Semoga segalanya bermanfaat dengan sebaik mungkin untuk kesejahteraan kita semua, saat ini, esok, dan selama kehidupan ini berjalan.

Ayah, kembali ke pelukan Ayah dan Ibu adalah hal yang kutunggu. Dekap hangat dan mesra itulah yang paling berarti dari segalanya bahkan nyawaku sekalipun. Dan aku berjanji tak akan binasakan asa yang kau tanam padaku sejak aku menangis keheranan karena mulai menatap dunia.

Ayah, ingat aku akan tangismu dihadapanku ketika kau berkisah tentang masa kecilmu yang begitu inginnya menuntut ilmu namun tiada kuasa mampu kau tuntut karena kesulitan ekonomi yang memaksamu untuk bekerja daripada menuntut ilmu. Untuk itu, kau berkeinginan menyekolahkanku hingga perguruan tinggi semau dan setinggi yang aku mampu.

Ayah, ketika kau antar aku tes di bangku kuliah di sebuah Universitas ternama di Surabaya, begitu riangnya parasmu yang mengharukan hingga aku tak kuasa menitikkan airmata. Kau begitu berharap aku melanjutkan study untuk melanjutkan perjuanganmu mengarungi samudera kehidupan ini meskipun dengan cara yang lain.

Ayah, sungguh aku bersyukur jika aku mampu membuatmu bangga dalam hal apapun, dan itulah kebahagiaan yang tiada tara bagiku.

Ayah, kau begitu berjuang memeras keringat untuk Ibu dan aku, untuk kebahagiaan kami, untuk melihatku tumbuh menjadi kembang perawanmu. Tentu kau merasa sulit melewati masa-masa itu, untuk itu aku begitu mencintaimu.

Ayah, sungguh aku mengerti ketika kau meneteskan air mata melihatku terkapar tak berdaya, sambil kau usap keningku, sebenarnya aku sekedar berpura-pura memejamkan mataku, dan ketika kemudian aku membuka mataku, kau katakan bahwa kau terisak karena terkena influenza, padahal kau menangis karena takut kehilangan aku, putri semata wayangmu ini.

Ayah kau ajariku melalui bahasa kalbumu untukku tidak meremehkan tutur kata Ibu. Kau berikan aku kecerahan yang selayaknya mampu memanduku meniti perjalanan panjang menjadi hambaNya yang sholilah. Sungguh aku mencintaimu Ayah.

Ayah, sungguh bijakmu meluluhlantakkan egoku. Ketika indah dinikmati bersama. Melody hanya kita yang punya. Aku begitu mencintaimu.

Ayah ibamu pada dunia yang menuntutku untuk lebih mencintai apa-apa, karena dengan mencintai itu aku dicintai, karena dengan memberi aku menerima.

Ayah dengan kuasamulah kau jaga buah yang sedang ranum ini. Merapatkan shaf dalam menaati aturanNya hingga aku selamat dan membuahkan kebahagiaan dunia-akhiratmu. Sungguh senyummu menyimpan arti yang tak sanggup aku lontarkan. Karena itu aku begitu mencintaimu.

Ayah, aku ingin bercengkrama dengan asyiknya bersamamu. Saat yang tepat ketika tak ada satupun momen yang aku lewatkan untuk merangkai kata – kata nan indah. Sambil menyapu gundah yang selama ini bersemayam menggerogoti alam pikiranku.

Ayah, hanyalah maaf yang ingin aku ucap sebelum semua terlewati. Beginilah aku yang sering membuatmu lelah dan risau, namun sungguh tak pernah sekalipun terlintas dalam niatku untuk menyakitimu.

Ayah, aku ingin memberi apa-apa yang belum kau punya. Aku ingin memberi kemerdekaan untukmu. Kemerdekaan untuk menikahkan aku dengan selamat. Itulah harapanku. Dengan itu, usai sudah tugasmu sebagai seorang Ayah. Selanjutnya, akulah yang akan melanjutkan tugasku sebagai seorang anak. Birrulwalidain, amin.

Ayah, dan ketika ini semua akan lenyap dalam genggaman waktu, percayalah dalam kelenyapan itulah maka kita dilahirkan kembali ke kehidupan abadi.

Ayah, ini bukan penyerahan sempurna akhir hidupmu, melainkan inilah awal pengabdianmu pada kehidupan. Janganlah berputus asa dalam memerangi hidup fana ini, Ayah!

Ayah, tawamulah yang menjadi inspirasiku dalam hal apapun, bahkan dalam menorehkan hitam di atas putih dalam sepenggal kisah cinta untukmu ini.

Ayah, apakah kau ingin juga menuliskan dengan warna-warni kenangan kita? Tapi Ayah, kau tak perlu lakukan itu! Kau tak perlu nyatakan seberapa besar rasa cintamu untukku! Cintamu untukku bagai dawai gitar yang menggetarkan seluruh jagad, karena ia berbicara dengan sejuta makna meski tanpa kata-kata.
I LOVE YOU DAD!

Surabaya, 13 September 2008

SURAT UNTUK ANAK KU

Anakku sayang...
Kuingat ketika kau memperkenalkan
teman wanitamu pada Ibu
Ada binar aneh dalam matamu...
Binar itu tak pernah kutemui selama puluhan tahun
Ibu mengasuh dan membesarkanmu

Meski kau gembira ketika dulu kau dapat berjalan,
tak ada binar itu...
Meski kau lega ketika sakit khitanmu telah sembuh,
tak ada binar itu...
Meski kau bangga ketika kau terdaftar di universitas
yang kau idamkan, tak ada binar itu...
Meski kau bahagia menyandang gelar yang kau cita-citakan,
tak Ibu jumpai binar itu...

Ibu bertanya-tanya binar apa itu...?
Yang begitu memancar ketika kau menceritakan
siapa dan bagaimana teman wanitamu itu...

Aah... Ibu tahu itulah binar cinta
sama seperti binar mata ayahmu ketika meminta Ibu
untuk menjadi teman hidupnya

Anakku sayang...
Binar itu makin berkilat-kilat
ketika kau meminta Ibu untuk datang ke rumah teman wanitamu itu
Kau telah bertekad untuk menyempurnakan
kehidupanmu bersamanya...

Aah... angan Ibu melayang-layang
Ingat ketika ayahmu melamar Ibu, dan binar mata
yang berkilat-kilat ada juga di mata ayahmu ketika itu

Anakku sayang...
Kini kau telah bersanding dengan teman wanitamu
Di matamu ada wajahnya dan di matanya ada wajahmu

Katakan padanya, Ibu juga mencintainya
Sama dan seimbang seperti Ibu mencintaimu
Kalaulah dia adalah belahan jiwamu,
Maka dia juga belahan jiwa Ibu

Karena anakku...
Sampai kapan pun, engkau tetap belahan jiwa Ibu...

SURAT UNTUK AYAH

Ayah,
Jika kudapat terbang
Melampaui Bima Sakti... Akan kukabarkan
kebesaran Allah padamu

Ayah,
Jika dalam melewatinya kudapat memetik bintang...
Akan kupetik dan kupersembahkan untukmu
Agar kerlipnya memberi keindahan pada sisa hidupmu

Ayah,
Jika seluruh planet dapat kuuntai,
Maka untaiannya akan kuserahkan padamu
untuk mengalungkan untaian itu kepada Ibu...
Agar Ibu selalu tegar menghadapi dunia

Ayah,
Jika Matahari dapat kupindahkan...
Aku ingin memindahkannya dalam semangatmu,
Agar Ayah selalu bersemangat menjadi imam keluarga kita

Ayah,
Jika rembulan dapat kudekap pada 2/3 malam,
Maka akan kubisikkan doa "Semoga cahaya salat Subuhmu di mesjid yang menerangi ketika langit di gulung dan bintang-bintang berjatuhan"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar